Senin, 15 Agustus 2022 10:52 WIB

Digital Parenting di Masa Pandemi

Responsive image
1399
Miranty Novia Wardhani, S.Psi. - RS Jiwa dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor

Penutupan sekolah karena pandemi, akan menimbulkan kebutuhan baru untuk keperluan belajar anak secara online. Kebutuhan akan fasilitas teknologi informasi untuk mendukung kebutuhan belajarnya, meliputi :

1. Media Teknologi (smartphone, Personal computer, tablet dll)

2. Jaringan internet

3. Aplikasi media belajar (Google classroom, zoom, wa dll)

4. Aplikasi belajar lainnya via daring

Dengan bergesernya paradigma mengenai cara belajar baru di era pandemi ini, orang tua pun dihadapkan pada konsep mengenai digital parenting. Apa dan bagaimana cara pengasuhan anak di era pandemi yang mensyaratkan keterlibatan anak sepenuhnya di dunia digital yang tentu banyak resikonya.

Digital parenting adalah proses pengasuhan anak yang bertujuan untuk mengajarkan anak bertanggung jawab atas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Tujuannya adalah, agar orang tua :

1. Menjadi role model tentang penggunaan teknologi yang bisa ditiru oleh anak.

2. Mengajarkan etika dan aturan dalam pengelolaan teknologi digital (informasi dan komunikasi).

3. Mengawasi dan mendampingi anak dalam menggunakan waktunya untuk menjelajahi dunia digital internet.

Tantangan yang seringkali dihadapi orang tua terkait digital parenting ini adalah :

1. Kurangnya pengetahuan orangtentang teknologi terkini.

2. Kesenjangan penguasaan teknologi digital antara orang tua dan anak

3. Anak-anak yang terpapar gawai secara berlebihan

4. Social impairment, kegagalan menjalin interaksi sosial yang sehat dengan lingkungan sekitar.

5. Isu kesehatan fisik dan psikologis anak seiring loncatan teknologi.

 

Adapun, dampak penggunaan gawai yang berlebihan pada anak yang umum terjadi adalah :

 

1. Perilaku agresi, anak menjadi agresif ketika dilarang bermain gawai atau dibatasi waktunya.

2. Obesitas, bermain game atau mengotak-atik gawai akan membuat anak merasa lapar dan tanpa sadar mulai makan berlebihan tanpa beranjak sedikitpun dari tempatnya beraktivitas dengan gawai, lambat laun berat badan akan terus bertambah.

3. Sleep disorder/Gangguan tidur, usia dan kesiapan pola pikir anak perlu menjadi pertimbangan utama sebelum memberi keleluasaan akses menggunakan gawai. Gangguan tidur dapat terjadi karena penggunaan gawai yang tidak terkontrol.

4. Back Pain, posisi tubuh yang sama secara terus menerus saat menggunakan gawai dapat memicu timbulnya back pain /nyeri punggung.

5. Tennis Elbow, memegang dan mengoperasikan gawai sepanjang hari tanpa terkendali dapat membuat siku menjadi sakit. Dalam istilah medis disebut tennis elbow, muncul karena sirkulasi darah yang tidak lancar.

6. Masalah pendengaran, penggunaan earphone terus menerus pada saat memainkan gawai diyakini dapat memicu munculnya masalah pada indera pendengaran.

7. Stress, Anak-anak yang terus menerus terpapar gawai cenderung akan terokupasi dengan aktivitas tersebut dan merasa terganggu jika berjauhan dari gawai karena dorongan untuk terus bermain yang selanjutnya memicu timbulnya stress.

8. Abai terhadap sekitarnya, efek yang paling terasa dari penggunaan gawai yang tidak terkontrol adalah perilaku tidak peduli dengan kondisi sekelilingnya karena asyik dengan gawainya.

 

 Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengantisipasi kemungkinan resiko tersebut adalah dengan mengupayakan sejumlah aspek penting pengasuhan anak di era digital masa pandemi ini, yaitu :

 

1. Kemauan orang tua untuk mendengarkan. Bangun dialog yang berkualitas dengan anak, pertahankan komunikasi yang terbuka, langsung namun dengan tetap mendengarkan anak.

2. Mengawasi dan mendampingi anak melalui fungsi kontrol orang tua. Pengalaman anak menjelajahi dunia online dapat dikelola oleh orang tua. Sistem operasi, search engines, provider cellphone dan game platform biasanya menyediakan layanan “parental control”.

3. Menetapkan aturan dasar dan mengajarkan anak bertanggung jawab atas pilihannya. Contoh, tidak ada gawai selama jam makan malam, simpan gawai di atas jam 9 malam. Jika aturan dilanggar, komunikasikan dengan anak secara empatik, bangun kesadarannya melalui diskusi yang insightful.

 

4. Berteman dan jadilah pengikut di media sosial milik anak, namun jangan memata-matai. Ketika anak remaja yang berusia 13 tahun memiliki akun media sosial, pastikan orang tua adalah sahabat terbaiknya. Ikuti media sosialnya namun tidak mengintainya. Biarkan mereka mengeksplorasi, mengambil resiko (sehat), dan membangun resiliensi (ketangguhan), serta membangun percakapan melalui diskusi bukan dengan cara mengintai, untuk membangun trust dengan anak.

5. Menjelajahi internet bersama anak. Bermain game, menonton video, berbagi foto dan aktivitas online lainnya bersama anak. Berbagi situs favorit dan mengunduh aplikasi yang mereka sukai. Amati dan lihatlah dunianya melalui perspektif mereka.

6. Jadilah role model pengguna digital yang baik. Anak-anak lebih memperhatikan apa yang orang tua lakukan bukan pada apa yang diucapkan, baik itu aktivitas online maupun offline. Tahan dorongan untuk menjawab email saat makan malam atau membalas pesan saat sedang mengemudi. Perhatikan perilaku digital diri sendiri dan jadilah panutan yang baik untuk anak.

 

Referensi:

1.    Tim Dosen Fakultas Psikologi Unika Atmajaya., 2021.Internet, Gawai, dan Remaja. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara.

2.    Dr. Agus Abdul Rahman, M.Psi.,2016. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: CV. Pustaka Setia

3.    United Nations., 2020, Policy Brief: The Impact of COVID-19 on Children, United States of America.

4.    S.K. Saxena & R. Saxena., 2019. Preparing Children For Pandemics, Springer Nature Singapore Pte Ltd.