Senin, 15 Agustus 2022 15:18 WIB

Neuroleptic Malignant Syndrome Akibat Antipsikotik

Responsive image
8849
apt. Nur Aini Fatmawati, S.Farm - RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

Neuroleptic Malignant Syndrome atau NMS merupakan efek samping dari penggunaan obat antipsikotik yang ditandai dengan gejala demam, kaku pada otot, dan perubahan status mental. Efek samping ini merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penghentian terapi. Efek ini muncul disebabkan obat-obatan yang memblok/menghambat reseptor dopamine. NMS pertama kali muncul pada tahun 1956 setelah pemberian antipsikotik chlorpromazine. Pada tahun 1960, NMS muncul di Perancis setelah pemberian haloperidol. Pada tahun 1966-1967 di Eropa, insiden NMS sebesar 0,2%-3,2% pada pasien rawat inap. Efek samping NMS kembali menurun dengan insiden 0,01-0,02% di Eropa sejak ditemukannya antipsikotik generasi baru. Meskipun jarang terjadi, NMS perlu diwaspadai dan diatasi dengan pengobatan.

NMS dapat terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah penggunaan obat. Efek ini juga dapat muncul dua minggu atau tiga bulan setelah mendapat terapi. Gejala yang dialami meliputi demam, kaku pada otot, dan perubahan status mental. Perubahan status mental yang tampak meliputi mengantuk, agitasi, kebingungan, delirium hingga koma. Selain itu, NMS juga diikuti dengan tekanan darah tidak stabil, nafas menjadi cepat, denyut nadi cepat, kulit pucat, dan keringat berlebihan. Peningkatan creatinine phosphokinase (CPK) menunjang diagnosa NMS.

Antipsikotik generasi pertama meliputi haloperidol, chlorpromazine, fluphenazine, dan trifluoperazine merupakan antipsikotik poten sering menimbulkan efek samping NMS. Efek samping NMS akibat antipsikotik generasi kedua lebih jarang terjadi. Antipsikotik generasi kedua meliputi risperidone, clozapine, olanzapine, quetiapine, dan aripiprazole. Faktor resiko timbulnya NMS meliputi peningkatan dosis, penggunaan kombinasi antipsikotik, kombinasi antipsikotik bersama lithium, dehidrasi, kelelahan, paparan terhadap panas, kekurangan zat besi, kekurangan nutrisi, alkohol, dan gangguan fungsi otak.

Langkah pertama mengatasi NMS dengan menghentikan pemberian obat antipsikotik. Langkah selanjutnya, terapi suportif meliputi pemberian cairan secara adekuat, koreksi gangguan keseimbangan elektrolit, terapi nutrisi dan terapi dingin untuk menurunkan suhu. Perawatan intensif diperlukan untuk mengatasi komplikasi yang ditimbulkan. Obat yang dapat diberikan untuk mengatasi NMS yaitu bromokriptin. Bromokriptin mengatasi penurunan dopamine akibat antipsikotik. Dosis bromoktiptin 2,5 mg diberikan dua hingga tiga kali dalam sehari dan dapat ditingkatkan 2,5 mg setiap 24 jam hingga tercapai perbaikan. Dosis maksimum bromokriptin 45 mg perhari.        

Obat-obatan lain yang dapat diberikan untuk NMS meliputi amantadine, levodopa, dan golongan benzodiazepine seperti lorazepam. Dalam kasus pasien tidak merespon terapi, dapat dipertimbangkan electroconvulsive therapy. Efek samping tersebut dapat muncul kembali dengan pemberian kembali antipsikotik dalam rentang waktu cepat. Pengobatan kembali antipsikotik setelah NMS teratasi dapat memicu efek samping serupa muncul kembali dengan prosentase 30%. Namun, pasien tetap perlu mendapatkan antipsikotik.

Strategi memulai kembali dengan pemberian antipsikotik generasi pertama dengan dosis rendah. Strategi lain dengan menggunakan antipsikotik generasi kedua. Antipsikotik tersebut dapat diberikan dua minggu setelah efek samping NMS teratasi. Dosis ditingkatkan bertahap sesuai respon terapi disertai monitoring terhadap efek samping NMS. Monitoring efek samping obat dua minggu selama terapi oral antipsikotik dan selama enam minggu bila pasien mendapat terapi injeksi.

Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian pasien gangguan jiwa meliputi meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan, monitoring efektivitas, dan efek samping. Peningkatan kepatuhan dilakukan melalui konseling apoteker terhadap pasien dan keluarga. Pada saat konseling, apoteker menjelaskan efek samping yang dapat muncul selama pengobatan dan tindakan yang dilakukan ketika efek samping tersebut muncul. Pada pasien rawat inap, apoteker secara kolaborasi bersama tenaga kesehatan lain memantau efek samping pengobatan. Setiap efek samping yang timbul dilaporkan dan ditindaklanjuti. Identifikasi dan penanganan efek samping secara cepat dan mencegah kesakitan dan kecacatan pada pasien.

Referensi:

Berman, Brian D. 2011. Neuroleptic Malignant Syndrome. Neurohospitalist

Direktorat Pelayanan Kefarmasian. 2021.Pedoman Pelayanan Kefarmasian Pada Gangguan JIwa. Kementerian  Kesehatan

Rajamani, Bino et al. 2016. Neuroleptic Malignant Syndrome. Wolters Kluwer

Srawn, et al. 2007. Neuroleptic Malignancy Syndrome. American Journal of Psychiatry