Posterior interosseous syndrome (PIS) adalah neuropati kompresif yang mengenai cabang motorik murni dari nervus radialis, yaitu nervus interosseus posterior (NIP), yang menyuplai otot-otot ekstensor pada lengan bawah. Sindrom ini ditandai dengan defisit motorik tanpa gangguan sensorik karena cabang ini tidak membawa serabut sensorik. (1,2)
Nervus radialis berasal dari plexus brakialis, dengan akar C5–T1. Setelah keluar dari kompartemen posterior lengan atas dan melintasi spiral groove pada humerus, saraf ini bercabang di regio siku menjadi dua: (1,3,4)
NIP berjalan melalui otot supinator dan memasuki kompartemen posterior lengan bawah, menyuplai otot-otot ekstensor jari dan pergelangan tangan, seperti:
Insiden pasti tidak diketahui, namun PIS lebih sering ditemukan pada individu usia produktif (30–50 tahun), terutama yang melakukan aktivitas berulang pada lengan seperti teknisi, pekerja bangunan, dan atlet (misalnya tenis dan angkat beban). (2,5)
PIS umumnya disebabkan oleh kompresi atau iritasi kronis pada NIP. Beberapa penyebab utama meliputi: (3,6)
a. Penyebab Kompresif :
1. Arcade of Frohse – bagian fibrous dari otot supinator; lokasi kompresi paling sering.
2. Ligament of Struthers atau fibrous band di sekitar radiocapitellar joint.
3. Tumor atau massa: lipoma, ganglion, neuroma
4. Fraktur atau dislokasi: terutama fraktur kepala radius atau dislokasi siku.
b. Penyebab Non-kompresif :
1. Mikrotrauma berulang akibat aktivitas berlebihan (repetitive strain injury)
2. Radang seperti rheumatoid arthritis
3. Iatrogenik: pasca-operasi elbow, pemasangan gips, atau eksternal fixator.
Kompresi saraf menyebabkan gangguan aliran darah (iskemia) dan demielinasi segmental, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi aksonopati jika berlangsung lama
PIS terutama disebabkan oleh kompresi mekanik NIP. Lokasi kompresi paling umum adalah di arcade of Frohse3. Penyebab lainnya termasuk massa seperti ganglion atau lipoma, inflamasi lokal (misal pada rheumatoid arthritis), trauma langsung pada siku atau lengan bawah, dan penyempitan akibat fraktur atau pseudotumor pasca fraktur. (6)
Gejala klinis utama adalah kelemahan otot-otot ekstensor jari dan ibu jari tanpa disertai defisit sensorik. Pasien biasanya datang dengan “finger drop” dan kesulitan melakukan ekstensi MCP (metacarpophalangeal joint). Tidak ada gangguan sensorik pada dorsum tangan, membedakan PIS dari radial tunnel syndrome . (1,7)
Pendekatan Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik : Tanda khasnya adalah kelemahan ekstensi jari dan ibu jari, sementara sensasi tetap normal. Resisted supination dapat menimbulkan nyeri jika terjadi iritasi NIP di arcade of Frohse. (4)
b. Elektromiografi (EMG) : EMG menunjukkan adanya denervasi otot-otot yang disuplai NIP. Studi konduksi saraf berguna untuk menentukan lokasi lesi. (8)
c. Imaging : MRI berguna untuk menyingkirkan massa kompresif dan menilai atrofi otot. Ultrasound dapat mendeteksi lipoma, ganglion, atau fibrosis. (9)
Tatalaksana
a. Konservatif : Indikasi pada kasus ringan tanpa massa. Terapi meliputi modifikasi aktivitas, fisioterapi, NSAID, dan penggunaan wrist splint. Diberikan waktu 3–6 bulan observasi 1,6.
b. Operatif : Indikasi jika tidak membaik setelah terapi konservatif, atau bila ditemukan massa kompresif. Tindakan berupa dekompresi saraf, eksisi massa, atau neurolysis. 10
Dengan diagnosis dan tatalaksana dini, prognosis umumnya baik. Regenerasi saraf dapat memerlukan waktu berbulan-bulan (sekitar 1 mm per hari). Jika terjadi denervasi lama, hasilnya bisa suboptimal. (1,11)
Jika tidak tertangani, PIS dapat menyebabkan: (7,12)
Referensi :
1. Osei DA, Groves AP, Bommarito K, Ray WZ. Posterior Interosseous Nerve Syndrome: Diagnosis and Management. J Hand Surg Am. 2017;42(1):63–68. doi:10.1016/j.jhsa.2016.10.008
2. Rinker B, Ingari JV. Radial tunnel syndrome and posterior interosseous nerve syndrome. Hand Clin. 2007;23(3):301–310. doi:10.1016/j.hcl.2007.05.001
3. Spinner M. The arcade of Frohse and its relationship to posterior interosseous nerve palsy. J Bone Joint Surg Br. 1968;50(4):809–812.
4. Sunderland S. Nerves and Nerve Injuries. 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1978.
5. Lee SK, Wolfe SW. Peripheral nerve injury and repair. J Am Acad Orthop Surg. 2000;8(4):243–252.
6. Sammer DM, Kircher MF, Spinner RJ, Shin AY. Endoscopic decompression of the radial tunnel. J Hand Surg Am. 2009;34(2):317–323.
7. Stewart JD. Focal Peripheral Neuropathies. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000.
8. Preston DC, Shapiro BE. Electromyography and Neuromuscular Disorders: Clinical-Electrophysiologic Correlations. 3rd ed. Elsevier; 2013.
9. Hobson-Webb LD, Padua L. Ultrasound of focal neuropathies: a review. Neurotherapeutics. 2021;18(2):779–792.
10. Vande Berge J, Smith J, Brininger T. Conservative management of posterior interosseous neuropathy: a case report. J Orthop Sports Phys Ther. 2006;36(2):104–112.
11. Kim DH, Murovic JA, Tiel RL, Kline DG. Management and outcomes in 318 operative common peroneal nerve lesions at the Louisiana State University Health Sciences Center. Neurosurgery. 2004;54(6):1421–1428
Sumber gambar:
https://media.aofoundation.org/-/jssmedia/surgery/p22/p22_a010_i060.png?w=620
https://ars.els-cdn.com/content/image/1-s2.0-S2773157X22000777-gr1.jpg
https://i.pinimg.com/1200x/92/62/74/926274a433ad4ed8bc02c1332cf767c9.jpg