Diabetes dikenali pertama kali dikenali sekitar 3500 tahun yang lalu oleh orang Mesir Kuno. Salah satu deskripsi pertama tentang diabetes dinyatakan oleh Arataeus, yang berasal dari Cappadocia, pada kisaran tahun 120 sebelum Masehi, yang menyebutkan bahwa kondisi diabetes ini “untungnya jarang terjadi”, namun “memperpendek usia penderitanya”.
Di era modern sekarang ini, pernyataan pertama jauh dari kenyataan yang terjadi. Insiden diabetes berlipat ganda dalam dua puluh tahun sejak tahun 1945. Pada tahun 1994, angka kejadian diabetes melitus tipe 2 (saat itu dikenal sebagai diabetes melitus yang tidak bergantung insulin) adalah 99 juta (1,8% dari populasi), pada tahun 2010 sudah menjadi 215 juta (3,8%).
Pernyataan kedua masih tetap relevan dan benar untuk kondisi sekarang, seperti apa yang diyakini 2000 tahun yang lalu. Sebagian besar pasien diabetes meninggal, terutama akibat penyakit makrovaskular, dan angka kejadian penyakit kardiovaskular dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding populasi umum. Sebagian besar pasien diabetes mengalami komplikasi, di mana komplikasi ini bahkan sudah terjadi pada 50% ketika terdiagnosis.
Solusi ideal dalam mengatasi permasalah ini adalah pencegahan, namun hal ini nampaknya relatif sulit diwujudkan bila pemahaman tentang diabetes ini masih rendah. Menurut International Diabetes Federation (IDF), dalam Atlas Diabetes edisi ke-10, sekitar 45% penyandang diabetes, terutama diabetes melitus tipe 2 tidak terdiagnosis.. Angka ini bahkan diperkirakan lebih tinggi di Indonesia yaitu berkisar 73,7%. Alasan mengapa tidak terdiagnosis kemungkinan karena sebagian besar pasien diabetes di fase awal tidak mengalami gejala sehingga tidak memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Kemungkinan lain adalah pasien sudah merasakan gejala tapi mengabaikan gejala ini dan tetap tidak melakukan pemeriksaan kesehatannya. Untuk mengetahui dan menegakkan diagnosis diabetes, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium, dan hal ini membutuhkan biaya. Di samping biaya, juga dibutuhkan waktu dan upaya untuk melakukan pemeriksaan ke laboratorium. Jadi untuk mendiagnosis diabetes, pasien perlu mendedikasikan waktu, biaya dan upaya.
Pada tahun 1993 publikasi dari penelitian Studi Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) menunjukkan bahwa kendali glikemik yang baik pada diabetes (yaitu kadar glukosa darah yang mendekati normal) mengurangi kejadian dan perburukan komplikasi mikrovaskular pada diabetes melitus tipe 1. Namun, apakah temuan ini berdampak sama pada pasien diabetes melitus tipe 2 mengingat pada pasien diabetes melitus tipe 2, selain kadar glukosa darah, hipertensi dan gangguan lemak tubuh juga merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi. Studi United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang dimulai tahun 1970 oleh Dr Robert Turner dan kawan-kawan di Oxford, bertujuan menjawab tentang hal ini. Studi UKPDS melibatkan lebih dari 7600 pasien di 23 pusat pelayanan kesehatan membuktikan bahwa pengendalian kadar glukosa darah yang baik dapat membantu menghindari komplikasi.
Langkah awal pengendalian kadar glukosa darah pada pasien diabetes dimulai dari diagnosis sedini mungkin, idealnya adalah sebelum komplikasi diabetes terjadi. Mari kita kenali diabetes, dan lakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin untuk mendeteksi diabetes lebih awal.
Rujukan:
King P, Peacock I, Donnelly R. The UK prospective diabetes study (UKPDS): clinical and therapeutic implications for type 2 diabetes. Br J Clin Pharmacol. 1999;48(5):643-648. doi:10.1046/j.1365-2125.1999.00092.
The Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med. 1993;329:977–986.