Selasa, 09 Agustus 2022 14:02 WIB

Ulas Singkat Sindrom Benedikt : Kondisi Langka yang Menyerang Sistem Saraf

Responsive image
915
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gede Bagus Mahadewa, M. Kes - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

     Sindrom benedikt adalah kumpulan gejala yang sangat langka dengan nama eponim yang berkaitan dengan kerusakan anatomis spesifik dari berbagai penyebab ke otak tengah. Hal ini ditandai dengan adanya kelumpuhan saraf okulomotor ipsilateral, kelemahan separuh hemiparesis kontralateral, ataksia serebelar kontralateral dan/atau tremor Holmes dan/atau koreoatetosis.  Istilah-istilah ini tentu sangat sulit untuk dipahami bagi masyarakat awam. Singkatnya, gejala yang ditimbulkan pada kondisi sindrom benedikt ini sangat mirip dengan pasien stroke, berupa kelemahan separuh tubuh dan kesulitan bicara.

     Sindrom benedikt dipahami sebagai kumpulan gejala, seperti dijelaskan di atas, yang timbul dari kerusakan mesensefali pada nukleus merah ipsilateral, substansia nigra, saraf kranial ketiga, dan batang otak. Oleh karena itu, ada banyak proses penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis fokal dan kemudian menimbulkan kondisi yang disebut sindrom benedikt. Etiologi atau penyebab yang bervariasi dari sindrom ini seperti yang dijelaskan dalam beberapa literatur antara lain tumor pada selaput otak atau meningioma, keganasan pada prostat atau karsinoma prostat, stenosis atau sumbatan arteri serebral posterior, pasca trauma, pembentukan kista, cedera iatrogenik setelah prosedur stereotaktik, cedera yang didapat setelah tindakan pembedahan dalam menangani aneurisma, hemangioma kavernosa, dan aneurisma yang tidak pecah.

     Menanyakan riwayat penyakit yang rinci sangat penting dalam menentukan gejala dan perjalanan waktu mereka. Sama pentingnya untuk mengungkap faktor gaya hidup, riwayat medis masa lalu, riwayat keluarga, riwayat pengobatan, dan riwayat sosial. Pemeriksaan neurologis yang terperinci juga penting seperti halnya pasien yang mengalami gejala neurologis, untuk dapat menentukan pemeriksaan lanjutan yang harus dilakukan guna membedakan dengan diagnosis lainnya yang serupa, seperti pada pasien stroke dengan gejala yang menyerupai sindrom benedikt.

     Jika pasien datang dengan gejala akut dan dicurigai sebagai serangan stroke akut, pemeriksaan penunjang berupa CT scan sesuai manajemen rutin stroke akut perlu dilakukan. Jika gejala muncul lebih tersembunyi, MRI dengan kontras sering dilakukan untuk menilai lokasi dan ukuran, yang pada kemudian dapat membantu menentukan kemungkinan etiologi atau penyebab lesi saraf ketika dipertimbangkan bersamaan dengan konteks klinis sesuai dengan riwayat pasien dan temuan pemeriksaan lainnya.

     Adanya etiologi yang bervariasi dari sindrom ini, pengobatan yang diberikan pun tergantung pada patologi yang mendasarinya. Misalnya, bila kondisi berupa kavernoma mesensefalik sebagai penyebab, maka dilakukan tindakan bedah atau jika disebabkan oleh aneurisma arteri serebelar superior, maka diobati melalui kliping aneurisma. Tromboemboli diperlakukan seperti stroke tromboemboli dan dapat diobati melalui trombolisis atau menghancurkan sumbatan, trombektomi, dan pencegahan sekunder tergantung pada presentasi klinis dan temuan pencitraan. Neurorehabilitasi dilaporkan bekerja baik pada sindrom ini, misalnya, pada sindrom benedikt akibat trauma.

     Lalu bagaimana kondisi pasien dengan sindrom benedikt kedepannya? Adapun cukup sulit untuk dapat mengenali kondisi ini dengan cepat, mengingat sindrom benedikt merupakan kondisi yang cukup jarang terjadi dan menyerupai penyakit saraf lainnya. Prognosis pasien dengan sindrom benedikt sangat bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasarinya. Berkurangnya gejala yang signifikan telah dilaporkan pada pasien yang telah berhasil menghilangkan lesi atau kerusakan saraf yang menyebabkan gejala bila dikombinasikan dengan rehabilitasi. Namun, seperti pasien pertama yang dijelaskan dengan kondisi ini, pasien dapat menyerah pada patologi penyakit yang mendasarinya atau dibiarkan dengan keterbatasan yang signifikan dan penurunan kualitas hidup. Gangguan gerak memiliki dampak negatif yang signifikan pada aktivitas hidup sehari-hari dan kualitas hidup. Seperti halnya pasien yang mengalami gejala neurologis, kerjasama tim dapat memberikan hasil terbaik bagi pasien dalam hal diagnosis, manajemen, pengobatan, dan rehabilitasi. Seorang pasien dengan sindrom benedikt akan sering memerlukan keterlibatan neurologi, bedah saraf, radiologi, asuhan keperawatan, fisioterapi, serta terapi okupasi.

Referensi:

1. GT,Crenner CW,Logigian EL,Charness ME,Samuels MA, Midbrain syndromes of Benedikt, Claude, and Nothnagel: setting the record straight. Neurology. 1992 September

2. Paidakakos NA,Rokas E,Theodoropoulos S,Dimogerontas G,Konstantinidis E, Posttraumatic Benedikt's syndrome: a rare entity with unclear anatomopathological correlations. World neurosurgery. 2012 Dec

3. Maduri R,Barbagallo G,Iofrida G,Signorelli M,Signorelli F, Regression of Benedikt's syndrome after single-stage removal of mesencephalic cavernoma and temporal meningioma: a case report. Clinical neurology and neurosurgery. 2013 Jun

4. Yamanaka Y,Shinohara T,Kozano I,Yoshizumi T,Kawasaki T, [Benedikt Syndrome Associated with Neck Clipping of Ruptured Basilar-Superior Cerebellar Artery Aneurysm:A Case Report]. No shinkei geka. Neurological surgery. 2018 Nov

5. Cheng G,Yang Y,Wang Y,Tan H,Zhang S, Deep brain stimulation of the thalamic ventral intermediate nucleus for Benedikt's syndrome mainly present as tremor: a long-term case observation. Acta neurochirurgica. 2018 July

6. Ramos-Lima MJM,Brasileiro IC,Lima TL,Braga-Neto P, Quality of life after stroke: impact of clinical and sociodemographic factors. Clinics (Sao Paulo, Brazil). 2018 Oct 8