Jumat, 02 September 2022 14:28 WIB

Intervensi Psikologi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) untuk Gangguan Depresi dan Kecemasan pada Pasien Osteosarcoma

Responsive image
4909
Asis Muslimin, S.Psi.M.Psi.Psikolog - RS Ortopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta

Osteosarcoma adalah tumor osteogenic yang sangat ganas serta dapat berkembang di tulang manapun.Memiliki kecenderungan untuk berkembang di dekat metafisis tulang panjang pada pasien muda (Messerschmitt, 2009).Osteosarcoma merupakan keganasan sistem skeletal non hematopoetik yang sering ditemukan yaitu sekitar 20% dari tumor ganas primer tulang (Khurana JS, Mc Carthy, 2010).Kejadian Osteosarcoma pada semua populasi menurut WHO sekitar 4-5 per 1.000.000 penduduk (Panduan Praktik Klinik Osteosarcoma, 2015).

Penyakit osteosarcoma ini berdampak serius pada kualitas hidup penderitanya, dimana penderita mengalami penderitaan fisik, psikologi, sosial, spiritual dan masalah lainnya.Salah satu permasalahan serius pada penderita Osteosarcoma adalah depresi dan kecemasan.

Diagnosa

Indikasi depresi dan kecemasan pada pasien osteosarcoma dapat diperoleh dari hasil keterangan yang didapatkan dari beberapa pihak.Ada yang berasal dari pasien, care giver, catatan medis, dan dari PPA yang terlibat langsung menangani pasien osteosarcoma.

Symptoms/ gejala klinis

Pada pasien osteosarcoma, tekanan psikologis yang mengarah kepada gangguan depresi dan kecemasan dapat terlihat dengan ada tidaknya anhedonia , kehilangan minat, penurunan energi, retardasi psikomotorik, keputusasaan, emosi yang mudah tersulut, susah konsentrasi, kegelisahan. Selain itu pasien osteosarcoma juga mengalami keluhan-keluhan fisik diantaranya insomnia, napas yang lebih pendek, kepala terasa ringan, mulut kering serta gemetar (Brintzenhofe-Szoc dkk, 2009)

Kemunculan perilaku seperti menangis terus menerus, murung, penurunan kepuasan, penurunan frekwensi aktifitas sosial, penurunan aktivitas seksual, keceriaan dan optimisme yang tidak pada tempatnya.

Selain itu, pada beberapa kasus, namun tidak semuanya, ditemukan sebuah pemikirann untuk mengakhiri hidupnya, serta beberapa gejala yang mengindikasikan gangguan depresi dan kecemasan (Ray, dan Baum, 1985; Brintzenhofe-Szoc dkk, 2009)

Seorang klinisi juga perlu mewaspadai kemungkinan adanya depresi dan kecemasan pada pasien, yang disebabkan oleh tingginya biaya medis dan biaya penunjang operasional lainnya serta kurang optimal atau lambatnya perbaikan setelah tindakan medis dilakukan (Ray, dan Baum, 1985; Brintzenhofe-Szoc dkk, 2009)

3.      Asesmen

1)  Observasi psikologi klinis (Clinical Psychology Observation)

      Aspek observasi klinis adalah sebagai berikut:

a) Penampilan umum. Pada pasien osteosarcoma, perawatan diri perlu mendapatkan perhatian, khusus seperti berpakaian, mandi dan meningkatkan mobilitas sehingga mampu memecahkan masalah (Selzer&Dobkin, 2008).

b) Fisiologis. Nyeri fisiologis pernah menjadi salah satu hal yang di observasi seperti penyebab, komunikasi, harapan, pemerolehan informasi, manajemen dan pembelajaran dari pengalaman orang lain dengan nyeri kronis (Norman, et al; 2010)

c) Psikososial. Keterampilan psikososial perlu mendapatkan perhatian agar pasien osteosarcoma memiliki kemampuan untuk bersemangat dalam usaha yang dilakukannya. Perubahan kecil dapat dipakai mengoptimalkan pada aspek ini, meskipun nantinya ia akan membutuhkan jangka waktu yang relatif lama (Selzer & Dobkin, 2008)

d) Fungsi-fungsi psikologis, yang terdiri dari (satu) kognitif, mencakup kesadaran, orientasi, atensi dan konsentrasi, memori, proses pikir, ada tidaknya gangguan persepsi. (Kedua) emosi, mencakup ekspresi afek, intensitas, afek yang dominan, afek yang hilang, bagaimana afek diekspresikan (lewat gesture, ekspresi wajah, pilihan kata), kualitas mood dan stabilitas mood dalam periode tertentu. (Ketiga) perilaku, mencakup ada tidaknya hambatan dalam mobilitasi dan merubah posisi tubuh, ada tidaknya gesture atau gerakan berulang yang abnormal, ekspresi nyeri, perilaku saat menerima informasi, perilaku saat melakukan fungsi harian atau tugas lainnya, cara komunikasi dengan orang lain, misalnya dengan pasangan/ orang terdekat, anggota keluarga, teman, caregiver, tenaga kesehatan atau pasien lainnya.

2)  Wawancara psikologi klinis (Clinical Psychology Interview)

Wawancara klinis meliputi autoanamnesa dan alloanamnesa. Hal tersebut dilakukan untuk menggali informasi sebagai berikut:

a) Penghayatan pasien terhadap keadaannya, untuk kemudian digunakan mengidentifikasi keluhan dan gejala.

b)  Riwayat kesehatan dan riwayat perjalanan penyakit pasien.

c)  Latar belakang pasien yang meliputi data demografi dan lingkungan kehidupan pasien, termasuk perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan pasien sejak tahap prediagnosa, diagnosa dan tindakan operatif, pasca operatif serta tahap terapi.

d) Persepsi pasien terhadap osteosarcoma

e) Pola pikiran, perasaan, keyakinan dan perilaku pasien dalam menghadapi penyakitnya untuk memperoleh informasi mengenai strategi koping pasien.

f) Dukungan sosial yang diperoleh pasien saat itu, persepsi pasien mengenai dukungan sosial yang ia peroleh, serta pola relasi pasien dengan pasangan/ orang terdekat, anggota keluarga, caregiver, teman, dan tenaga kesehatan yang merawat.

g)  Pola ekspresi emosi pasien, misalkan apakah tertutup atau terbuks mengekspresikan emosinya.

h) Ada tidaknya faktor-faktor resiko berupa predisposisi trait neuroticisc pada pasien, riwayat gangguan depresi, kecemasan. Atau trait neuroticisc pada keluarga kandung, serta stres psikologis yang dialami pada masa kamak-kanak.

3)  Tes psikologi klinis (Clinical Psychology Test)

Tes psikologi klinis sebagai berikut:

a)  Mengukur fungsi kognitif  dengan Mini Mental State Exam (MMSE)

b)  Mengukur ciri kepribadian dan membantu identifikasi ada/ tidaknya  trait neuroticisc dengan Big Five Inventory dan Tes Kepribadian OMNI

c) Mengukur gejala depresi dan kecemasan dengan Depression Anxiety Stres Scale(DASS),Beck Depression Inventory (BDI),Hamilton Depression Rating Scale(HDRS) dan Beck Anxiety Inventory (BAI), Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

4. Dinamika Psikologis

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intensitas penurunan mood dan kecemasan pada pasien dapat dipengaruhi oleh interaksi dari beberapa  aspek sebagai berikut:

a) Aspek kognitif

Pada pasien osteosarcoma melekat konsepsi umum yang sangat negatif misalnya munculnya konsepsi tentang kematian, rasa nyeri yang tak tertahankan, penderitaan yang berlarut-larut, keganasan penyakit, penurunan fisik, penurunan harga diri, kehilangan anggota badan akibat amputasi. Walaupun sebatas konsep, tetapi hal tersebut sudah cukup memberikan kontribusi terhadap krisis psikologis pada individu (Rat and Baumm, 1985; Van oers, 2017)

b)  Aspek Afektif

Pasien osteosarcoma merasakan sebuah perasaan yang negatif misalkan gangguan suasana perasaan, pesimistis, krisis penurunan harga diri.Selain itu, ditemukan juga penurunan kepercayaan diri, kehilangan minat dan kegembiraan. Kemurung dan kesedihan sering dirasakannya sehingga energi terasa hilang, serta mudah lelah walaupun melakukan aktifitas yang biasa-biasa saja (Rat and Baumm, 1985; Van oers, 2017)

Suasana perasaan/ mood yang menurun, berubah sedikit dari hari ke hari dan seringkali tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. . Pada beberapa kasus, kecemasan, kegelisahan dan agitasi motoric mungkin pada waktu tertentu lebih menonjol dari pada depresinya. Perubahan suasana perasaan juga dirasakannya terkait dengan irritabilitas dan obsesif yang sudah ada sebelumnya (Dobson.K.S, 2010)

c)  Aspek Psikososial

Pada beberapa kasus osteosarcoma, namun tidak semua, pasien merasakan ada sebuah beban sosial yang harus ditanggungnya.Ia merasa mengalami kesulitan nyata meneruskan kegiatan sosialnya, pekerjaan dan urusan-urusan rumah tangganya (Dobson.K.S, 2010)

d) Tekanan khas pada setiap tahapan medis

Menjelang dan setelah memperoleh  diagnosa , individu dengan osteosarcoma  berhadapan dengan tekanan yang bervariasi yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupannya.

Ray dan Baum (1985) menjelaskan tekanan-tekanan yang khas pada tiap tahapan medis  yangdilalui oleh pasien osteosarcoma.

Tahapan-tahapan tersebut dapat dibagi  dalam tahap prediagnosa, diagnosa dan operatif, pasca operatif serta tahap terapi. 

Pada tahap prediagnosa  tekanan yang muncul berhubungan dengan aktifitas kognitif individu yang sudah mulai menghubungkan antara gejala fisik dengan osteosarcoma. Individu tersebut mengantisipasi masa depannyaberdasarkan  konsepsinegatifyang melekat pada penderita osteosarcoma. Kemudian pada tahap diagnosa dan operasi, tekanan yang khas yang muncul berhubungan dengan resiko tindakan operasi, kehilangan anggota tubuh, rasa sakit, dependensi pasca tindakan.

Sedangkan pada tahap pasca operasi  tekanan yang khas muncul berhubungan dengan perubahan fisik akibat tindakan operatif, kelelahan karena harus beradaptasi dengan kondisi yang baru serta kelelahan  akibat perjalanan rutin ke fasilitas kesehatan, beban finansial akibat biaya perjalanan, kehilangan pekerjaan serta dependensi terhadap anggota keluarga.

e) Strategi koping dan dukungan sosial

Pola pikiran, perasaan, keyakinan, dan perilaku pasien dalam menghadapi penyakitnya atau disebut juga sebagai strategi koping memiliki pengaruh terhadap reaksi emosional pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Greer, dkk (1991) pada pasien osteosarcoma  menemukan strategi-strategi koping yang berkorelasipositif dengan depresi dan kecemasan yaitu hopelessness/ helplessness, fatalism dan anxious preoccupation. Adapun strategi koping yang berkorelasi  negatif dengan depresi dan kecemasan  adalah strategi koping fighting spirit. Strategi koping yang digunakan pasien dipengaruhi oleh  dukungan sosial emosional  yang ia peroleh dari orang-orang terdekatnya termasuk care giver  dan tenaga kesehatan yang merawat pasien (Moorey dan greer, 1989)

f) Predisposisi kerentanan

Pada DSM 5 disebutkan bahwa predisposisi trait neurotisc, riwayat gangguan depresi, kecemasan pada keluarga kandung serta stres psikologis yang dialami pada masa kanak-kanak merupakan faktor resiko  dari gangguan depresi dan kecemasan. Kerentanan tersebut terutamatrait neurotisc ketika berinteraksi dengan stres psikososial yang aktual dan intens dapat memicu munculnya gangguan depresi dan kecemasan, terutama melalui mediasi ruminasi.

Ruminasi adalah  aktivitas mengarahkan  atensi secara terus menerus pada mood negatif. Ruminasi semakin kuat pada individu yang mengalami komorbiditas gangguan depresi dan kecemasan (Roelofs dkk, 2007 dan Ruscio dkk, 2015)

5.    Tindakan/ tatalaksana

CBT atau terapi kognitif perilaku merupakan kombinasi terapi kognitif dan perilaku yang fokusnya membantu individu dalam memodifikasi perilaku serta fikiran, keyakinan dan sikap-sikap yang mendasari perilaku tersebut.

Terapi ini memiliki asumsi bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh komponen kognitif yakni pikiran dan keyakinan.Oleh karena itu langkah yang digunakan untuk mengubah perilaku bermasalah adalah dengan mengubah kognitifnya (Dobzon dan Dozois, dalam Nevid, Rathus dan Greene, 2005).Terapi kognitif perilaku ini mempunyai bukti yang kuat untuk menangani gangguan mood dan kecemasan (DeRubeis dan Crits-Christoph, 1998).

Terapi kognitif adalah terapi yang terkait dengan proses berfikir manusia yang bertujuan melatih individu untuk berfikir lebih objektif dan realistis dalam rangka mencegah dan mengatasi masalah. Sedangkan terapi perilaku adalah terapi yang bertujuan untuk mengubah tindakan yang kurang tepat atau perilaku bermasalah yang didapatkan melalui proses belajar.yang terjadi sebelumnya. Kedua jenis terapi yang memiliki keunggulan masing-masing ini kemudian digabungkan dalam rangka  memaksimalkan efektifitasnya untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi pasien.

Benjamin dkk (2011) menjelaskan bahwa terapi ini mempresentasikan kombinasi teori-teori kognitif dan perilaku mengenai tindakan-tindakan manusia dan psikopatologi. Keith S Dobson dan David J.A Dozois (dalam Dobson, 2010) menjelaskan bahwa CBT memiliki tiga dalil mendasar yakni (1) aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku, (2) aktivitas kognitif dapat dimonitor dan diubah,(3) perubahan perilaku yang diinginkan dapat dilakukan melalui perubahan kognitif.        Sedangkan Beck (2011) menekankan bahwa ada saling keterkaitan antara kognitif, emosi dan perilaku individu. Proses berfikir individu akan mempengaruhi emosi dan perilakunya.Maka dengan memperbaiki aktifitas kognitif maka hal itu sekaligus sudah memperbaiki aspek afeksi dan perilaku. Analoginya adalah pegang rajanya, maka rakyat-rakyatnya akan mengikutinya.

Wallahu A’lam.

 

Referensi :

Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2001

Oemarjodi,K.(2003). Pendekatan Cognitive Beharior  dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreatif Media Jakarta.

Moorey, Stirling dan Greer, Steven 2002. Cognitive Behavior Therapy for people with Cancer. New York: Oxford University Press

Jacobsen, Paul B dan Jim, Heather S, 2008. Psychosocial Intervention for Anxiety and Depression in Adult Cancer Patients; Achievement and Challenges CA Cancer J Clin: Vol 58, No.4 (214-230)

Sudoyo, Aru W, dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI.Jakarta: Interna Publishing

Fenn,K & Bryne M (2013). The Key principles of Cognitive Behavior Therapy Innov AiT, 6(9), 579-585

Lestari Agustina, Budiyarti, Yuliani, dkk, 2020. Studi Fenomenologi: Psikologis Pasien Kanker Yang Menjalani Kemoterapi. Jurnal Keperawatan Suaka Insan: Volume 5 Edisi 1

Back,J.S. (2011) Cognitive Behavior Therapy: Basic and Beyond. New York: Guilford Press

Cully, J.A dan Teten, A.L (2008). A Practical Guide to Brief Cognitive Behavior Therapy, Houston: Departement of Veterans Affairs South Central MIRECC

Dobson, K.S (2010) Handbook of Cognitive Behavior Therapy. New York: Guilford Press

Sumber Foto : kaskus.co.id