Selasa, 05 Maret 2024 14:02 WIB

Hubungan antara Penyakit Jantung dan Aktifitas Fungsi Seksual

Responsive image
831
dr. Rido Jati Kuncara - RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya mencakup kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi juga melibatkan aspek keberkeluargaan atau, dalam istilah yang lebih umum, kebutuhan seksual. Hal ini berlaku untuk semua individu, termasuk mereka yang menderita penyakit jantung. Penelitian literatur lebih fokus pada aktivitas seksual terbatas pada penderita penyakit jantung koroner, sedangkan untuk penderita penyakit jantung lainnya, informasi yang tersedia masih terbatas.

Penderita penyakit jantung dihadapkan pada berbagai kendala yang terkait dengan tingkat keparahan penyakit, kondisi psikologis seperti rasa takut yang dialami baik oleh penderita maupun pasangan mereka. Semua hambatan ini dapat berdampak pada kehidupan seksual, yang kadang-kadang mengalami kemunduran atau bahkan mengarah pada ketidakmampuan untuk menjalin hubungan seksual sama sekali. Karena sifat masalah ini bersifat pribadi, tidak jarang penderita atau pasangan mereka memilih untuk tidak membicarakannya, bahkan untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan hanya bulanan tetapi mungkin bertahun-tahun.

Seiring bertambahnya usia, sekitar 75?ri populasi melaporkan penurunan frekuensi aktivitas seksual setelah melewati usia 40 tahun. Pada wanita yang berusia 60 tahun ke atas, mungkin tidak lagi muncul respons kemerahan saat mengalami rangsangan seksual. Ini mencerminkan kompleksitas perubahan fisik dan psikologis yang terjadi seiring bertambahnya usia, yang dapat memengaruhi kehidupan seksual seseorang.

Dalam konteks ini, penting untuk diakui bahwa kebutuhan seksual adalah bagian alami dari kehidupan manusia, termasuk bagi mereka yang menderita penyakit jantung. Meskipun tantangan dan kendala mungkin muncul, penting untuk mencari solusi yang sesuai, baik melalui komunikasi terbuka antara pasangan maupun dengan bantuan profesional medis. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana penyakit jantung dapat memengaruhi kehidupan seksual, diharapkan dapat tercipta dukungan yang lebih besar untuk individu dan pasangan mereka yang menghadapi situasi ini.

Studi menunjukkan bahwa sekitar 60% hingga 87% pasien dengan penyakit jantung melaporkan masalah seksual. Masalah seksual ini dapat mencakup penurunan minat dan aktivitas seksual, serta berhenti melakukan aktivitas seksual secara keseluruhan. Beberapa pasien juga melaporkan disfungsi ereksi atau kesulitan mencapai orgasme. Masalah seksual ini dapat memengaruhi baik pria maupun wanita dengan penyakit jantung.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi seksual pada pasien dengan penyakit jantung. Salah satunya adalah gejala penyakit jantung itu sendiri, seperti sesak napas dan kelelahan. Beberapa pasien juga percaya bahwa penggunaan obat-obatan untuk penyakit jantung dapat menyebabkan masalah seksual. Selain itu, kondisi komorbid seperti diabetes dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) juga dapat berkontribusi terhadap masalah seksual pada pasien penyakit jantung.

Dari data terkait penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) mencakup 40 pasien yang telah menjalani bedah pintas koroner atau infark miokard. Pasien-pasien ini memiliki rentang usia antara 43 hingga 64 tahun, dengan rerata usia laki-laki sekitar 54 tahun dan istrinya sekitar 48 tahun (dengan rentang 36-56 tahun). Keluhan subyektif yang umumnya disampaikan adalah kelelahan dan rasa lelah yang cepat, meskipun hanya sebagian kecil yang mengalami sesak nafas, berat di dada, atau nyeri dada yang menunjukkan kemungkinan angina pektoris. Perlu dicatat bahwa penderita sebaiknya diinterogasi mengenai keluhan ini, karena beberapa di antaranya dapat diatasi dengan baik melalui penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nitrat sebelum melakukan aktivitas. Sayangnya, sebagian penderita cenderung tidak terbuka, sehingga hal ini dapat menghambat upaya praktisi medis dalam mengantisipasi masalah yang mungkin timbul.

Rekaman denyut jantung melalui elektrokardiogram (EKG) selama 24 jam menggunakan alat Holter menunjukkan rata-rata denyut jantung antara 100-120 per menit pada pasien PJK berusia 47-53 tahun. Angka ini mencakup 66 hingga 90 persen dari denyut jantung maksimal pada uji tes pasca infark (denyut jantung maksimal pasca infark mencapai 130 per menit). Bagi mereka yang mengikuti program rehabilitasi selama 3 bulan, di mana denyut maksimal dapat mencapai 150 per menit, peningkatan denyut jantung selama aktivitas seksual mencapai 66-80 persen dari beban submaksimal.

Meskipun denyut jantung mencapai tingkat yang sebanding dengan latihan fisik, nadi tertinggi hanya dicapai selama orgasme, yang berlangsung sebentar, yaitu sekitar 30 detik. Oleh karena itu, kenaikan denyut jantung selama aktivitas seksual tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai pengganti latihan fisik yang teratur. Penting juga untuk mencatat bahwa hasil ini berlaku ketika aktivitas seksual melibatkan pasangan hidup. Skenario mungkin berbeda ketika terlibat dalam hubungan intim di luar pernikahan, di mana rangsangan, kecemasan, dan rasa bersalah dapat meningkatkan denyut jantung secara signifikan.

Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk mengobati penyakit jantung dapat memengaruhi fungsi seksual. Misalnya, diuretik thiazide dapat mempengaruhi fungsi ereksi pada pria. Namun, generasi obat-obatan terbaru cenderung memiliki efek samping seksual yang lebih sedikit. Selain itu, terapi perangkat seperti alat bantu ventrikel kiri dan transplantasi jantung juga dapat mempengaruhi kepuasan seksual pasien.

Studi menunjukkan bahwa aktivitas seksual pada pasien penyakit jantung dapat dikategorikan sebagai aktivitas fisik ringan hingga sedang. Konsumsi energi yang dibutuhkan saat berhubungan seksual sebanding dengan aktivitas fisik seperti naik tangga, pekerjaan rumah tangga, atau berkebun. Namun, pasien dengan penyakit jantung harus memperhatikan tekanan darah dan detak jantung mereka selama aktivitas seksual. Beberapa pasien mungkin perlu memodifikasi aktivitas seksual mereka untuk menghindari tekanan yang berlebihan pada jantung.

Penting bagi pasien dengan penyakit jantung untuk mendapatkan penanganan yang tepat untuk masalah seksual mereka. Sayangnya, banyak tenaga medis masih enggan membahas masalah seksual dengan pasien mereka, bahkan selama rehabilitasi jantung atau praktek umum. Hal ini dapat menyebabkan kekhawatiran yang tidak perlu bagi pasien. Oleh karena itu, penting bagi tenaga medis untuk membahas masalah seksual dengan pasien dan pasangan mereka secara terbuka dan memberikan informasi serta dukungan yang diperlukan.

Konseling dan pengobatan yang tepat dapat membantu pasien dengan penyakit jantung mengatasi masalah seksual mereka. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan pengobatan khusus untuk disfungsi ereksi. Obat-obatan seperti inhibitor fosfodiesterase tipe 5 (PDE-5) dapat digunakan dengan aman dan efektif untuk mengobati disfungsi ereksi pada pasien dengan penyakit jantung. Namun, pasien harus berkonsultasi dengan dokter mereka sebelum menggunakan obat-obatan tersebut.

Selain itu, penting juga untuk memberikan informasi dan dukungan yang tepat kepada pasien dan pasangan mereka. Pasien harus diberi tahu bahwa masalah seksual adalah hal yang umum pada pasien dengan penyakit jantung, dan mereka tidak sendirian. Konseling juga dapat membantu dalam mengatasi kekhawatiran, kecemasan, atau depresi yang mungkin muncul akibat masalah seksual.

Masalah seksual adalah masalah umum pada pasien dengan penyakit jantung. Penting bagi pasien dan pasangan mereka untuk mendapatkan informasi dan dukungan yang tepat. Tenaga medis perlu membahas masalah seksual dengan pasien secara terbuka dan memberikan penanganan yang sesuai. Dengan pengelolaan yang tepat, pasien dengan penyakit jantung dapat tetap mempertahankan kehidupan seksual yang sehat dan memuaskan.

 

Referensi :

Kusmana, D. 2008. Seks dan Penyakit Jantung. Jurnal Kardiologi Indonesia. 29: 95-96

Jaarsma, T.2016. Sexual function of patients with heart failure: facts and numbers. Journal Name, ESC Heart Failure 2017; 4: 3–7. DOI: :10.1002/ehf2.12108

Sumber gambar: canva.com