Masih muda kok hipertensi? Kok bisa sih?
Sebagai penderita hipertensi di usia muda pasti pertanyaan dan pernyataan tersebut sering terucap dari orang terdekat kita.
Lalu bagaimana tanggapan sahabat hipertensiku? Apakah tetap kalem ataukah jadi tambah sensitif atau bahkan marah marah dalam menanggapinya?
Pada kesempatan kali ini, sesuai dengan judul headline kita, DAMAI ITU INDAH, kita akan membahas bagaimana cara seseorang untuk memproses suatu diagnosa penyakit khususnya hipertensi melalui pendekatan psikologi yang berhubungan dengan tahapan kesedihan yang dialami.
Rasa marah, cemas, sensitif yang dirasakan adalah wajar dan merupakan tanda kesedihan yang akan menimbulkan duka tersendiri bagi seseorang yang baru terdiagnosis suatu penyakit. Hal ini dikarenakan ketika mendapatkan diagnosa baru ada reaksi dalam diri dan harus menyesuaikan diri dengan label baru tersebut. Diagnosa hipertensi yang notabene nya sering disebut dengan silent killer, pastinya akan menimbulkan pikiran negatif yang terus menerus berkecamuk di kepala.
Mengenal Lima Tahapan Berduka
Ada teori yang dapat digunakan untuk menggambarkan suatu penerimaan diagnosa tersebut. The Five Stages of Grief pertama kali dipakai pada tahun 1969 oleh seorang psikiater sekaligus penulis asal Amerika-Swiss, Elisabeth Kübler-Ross menjelaskan, 5 tahap berduka, lebih tepatnya tahap kesedihan tersebut meliputi penyangkalan (denial), amarah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Tahap penerimaan akan tercapai setelah seseorang melalui 4 fase sebelumnya. Lima tahapan berduka adalah fase emosi yang kerap dialami seseorang ketika menghadapi perubahan besar dalam hidup, terutama kesedihan dan kehilangan. Meski sejauh ini belum ada penelitian ilmiah yang memadai untuk membuktikan five stages of grief, alangkah lebih baik jika kita mengenali di awal sehingga kita dapat menghadapinya.
a. Penyangkalan (denial)
Tahapan ini hanya berlangsung sementara bagi seorang individu sebagai suatu mekanisme bentuk pertahanan yang datang dari ketidakpercayaan terhadap suatu kenyataan. Seseorang yang terdiagnosa suatu penyakit, awalnya akan menolak atau berpura pura tidak tahu bahkan tidak mau mengakui bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Hal ini karena efek dari rasa terkejut yang luar biasa. Nah, barulah muncul pertanyaan seperti” apakah benar yg terjadi?” “Apakah dokter benar dalam menentukan diagnose?” Dalam tahap ini, masih ada pemikiran bahwa ini adalah salah.
b. Amarah (anger)
Jika penyangkalan adalah upaya otak untuk meredam emosi negatif, marah adalah cara untuk melampiaskan emosi yang ada. Kemarahan dapat diakibatkan dari perasaan diri yang tidak melihat tanda-tanda peristiwa akan terjadi, atau jika sudah menyadari, seseorang merasa marah karena tidak dapat mencegahnya. Seseorang yang baru terdiagnosa seringkali merasa tidak menerima kenyataan dan membutuhkan objek untuk disalahkan, sehingga hal-hal kecil pun dapat menjadi bahan pelampiasan. “Alatnya pasti salah!” atau “mungkin karena capek dan stress, setelah istirahat pasti akan normal lagi”. Di bawah perasaan marah, banyak emosi lainnya yang menjadi turunan dimana datang sebagai sebuah gelombang saat seseorang mulai siap untuk menyelami perasaan lebih dalam, tapi kemarahan adalah emosi utama yang paling umum dikelola dan akan seringkali muncul dalam berbagai bentuk seiring proses penerimaan berlangsung. Pada tahap ini, mungkin seseorang merasakan ketidakadilan atas hal yang terjadi sekaligus marah karena tidak memiliki kendali untuk menghindarinya.
c. Tawar Menawar (Bargaining)
Tahap ini mulai terjadi negosiasi antara harapan kehidupan dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan informasi dari kenyataan yang ada. Seseorang cenderung berandai andai tentang apa yang akan dilakukan. Sebagai contoh, coba kita ke dokter lain, mungkin tidak akan terdiagnosa penyakit ini..
d. Depresi (Depression)
Setelah melewati tahap bargaining, seseorang akan lebih fokus pada realita di masa kini, dimana segala penawaran yang diandai-andai sulit untuk didapatkan jawabannya. Kesadaran ini akan menumbuhkan perasaan sedih yang jauh lebih mendalam dan muncul kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan.Ketidaksesuaian ekspektasi dari informasi yang diterima dari tahap bargaining juga bisa menjadi pemicu. Harus dipahami bahwa tahap depresi bukanlah bagian dari mental illness melainkan perasaan yang wajar terjadi sebagai respon dari rasa kehilangan yang luar biasa. Seseorang merasa kehilangan gairah untuk menjalani kehidupan, terselimuti duka yang mendalam, mengabaikan sekitar dan merasa lebih baik dalam kesendirian.
e. Penerimaan (Acceptance)
Penerimaan bukan berarti individu sudah merasa baik-baik saja dengan kenyataan yang ada, namun menerima diagnosa tersebut dan bagaimana harus hidup dengan realita tersebut. Pada tahap ini seseorang akan mulai menemukan kedamaian yang lebih besar atas sikap menerima dan mulai belajar untuk menjalani realita barunya dengan tanpa menyalahkan keadaan, lingkungan, bahkan diri sendiri. Poin pentingnya adalah tidak semua individu harus melewati kelima tahapan secara utuh atau secara berurutan. Beberapa orang mungkin mengalami depresi, namun tidak bagi beberapa orang lainnya, begitu pula untuk tahapan-tahapan lainnya. Meski begitu, tidak mungkin seseorang tidak mengalami satu dari kelima tahapan ini. Christina Gregory, PhD dalam sebuah artikel menyimpulkan minimal seorang individu akan melewati dua dari kelima tahapan tersebut (psycom.net, 4 Mei 2021)
Setiap orang bisa saja melalui setiap tahapan dengan jangka waktu yang berbeda. Bagaimanapun, teori ini terlalu sederhana untuk menggambarkan kepribadian setiap manusia yang rumit dan beragam. Meskipun begitu, diharapkan dengan mengetahui dan memahami keberadaan five stages of grief, sahabat hipertensi jadi terbantu dalam menghadapi kesedihan dan mulai melakukan penerimaan dan berdamai dengan diagnosa penyakit tersebut. Baru kemudian, mulai beradaptasi dan melakukan perencanaan dan treatment agar tetap stabil dan produktif di usia muda.
Dan yang pasti, tenang.. Kamu tidak sendiri.. ADA KAMI yang akan selalu menemani sahabat hipertensiku. Tetap optimis dan kurangi overthinking!
Referensi:
Kübler-Ross, E., & Kessler, D. 2014. “On Grief and Grieving: Finding the Meaning of Grief Through the Five Stages of Loss.” New York:United States: Scribner.
Patrick Tyrrell et all. 2023. Kubler-Ross Stages of Dying and Subsequent Models of Grief. National Lybrari of Medicine. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507885/?report=reader
Jodi Klark. 2023. How the Five Stages of Grief Can Help Process a Loss. Very well mind. https://www.verywellmind.com/five-stages-of-grief-4175361