Jumat, 10 Januari 2025 14:44 WIB

Speech Delay pada Anak Jaman Now

Responsive image
165
Agus Fitria, S.Psi. - RSUP dr. Sardjito Yogyakarta

Kebahagiaan terbesar bagi orang tua adalah memiliki anak yang terlahir sempurna dan mampu berkembang secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat pesat pada usia dini, yaitu usia satu sampai dengan lima tahun atau yang dikenal dengan usia keemasan (Amalia dkk., 2019). Pada masa ini perkembangan aspek fisik, kognitif, motorik, psikososial serta bahasa menjadi sangat penting.

Salah satu perkembangan yang sangat dinanti orang tua adalah perkembangan bahasa, dimana orang tua mengharapkan anaknya mampu menyebutkan kata dan bisa berkomunikasi dua arah dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain. Perkembangan bahasa anak usia dini didefinisikan sebagai salah satu aspek yang muncul sebagai ekspresi pemikiran seorang anak yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan dan kreativitas anak dengan tujuan agar anak dapat mengkomunikasikan pemikirannya secara lisan kepada orang dewasa (Amalia & Satiti, 2020).

Kemampuan bahasa anak berbeda-beda dan sangat tergantung dari stimulasi yang diberikan kepada anak. Perkembangan bahasa anak dapat distimulasi dari aktivitas mendengar, melihat dan meniru gerakan maupun ucapan dari orang tua. Untuk berkomunikasi secara efektif, seorang anak harus menguasai bahasa, yaitu sebuah kode konvensional yang digunakan untuk menyampaikan gagasan, ucapan, gerakan yang kompleks dalam bentuk kata-kata yang diucapkan. Menurut Feldman (2019), bahasa menggunakan sinyal dalam bentuk kata dan kalimat yang memiliki makna dan dapat diterima di lingkungan sosial.

Namun tidak semua anak menunjukkan kemampuan berbahasa sesuai yang diharapkan oleh orang tua. Fenomena saat ini menunjukkan banyak anak di lingkungan sekitar kita yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay). Dilansir dari sebuah artikel yang menyebutkan saat ini 20 persen anak Indonesia mengalami speech delay, itu artinya jika terdapat 5 juta anak maka 1 juta anak mengalami speech delay (Evandio, 2022). Hal ini sejalan dengan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) bahwa terdapat 5-8 persen anak prasekolah yang mengalami gangguan keterlambatan bicara, bahkan khusus di Jakarta tercatat ada 21 persen anak yang mengalaminya. Penelitian lain menyebutkan gangguan bicara menempati urutan kedua gangguan perkembangan anak dan lebih dari 750.000 anak di Amerika Serikat usia 3-5 tahun mengalami keterlambatan bicara sehingga memerlukan pendidikan khusus dan 16 persen anak mengalami keterlambatan dalam fase awal pembelajaran bahasa dan setengah dari anak-anak tersebut mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan berikutnya di masa depan (Feldman, 2019).

Penelitian menemukan anak yang mengalami keterlambatan bicara berpengaruh pada kemampuan kognitif anak usia 1-3 tahun, dimana anak mengalami kesulitan belajar di kelas khususnya dalam aktivitas membaca, menulis, menyusun kalimat secara lengkap dan menyelesaikan tugas secara mandiri (Kurnia dkk., 2019). Keterlambatan bicara dan bahasa yang tidak diatasi dapat bertahan pada 40-60 persen anak-anak dan beresiko lebih tinggi mengalami masalah sosial, emosional, perilaku dan kognitif dimasa dewasa.

Tentunya hal tersebut menjadi “warning” bagi kita selaku orang tua karena tanpa kita sadari, kemajuan teknologi memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan pola asuh orang tua jaman dulu dengan orang tua jaman now. Sudah sangat jarang kita temui waktu makan bersama diisi dengan dialog atau saling bercerita antara anggota keluarga dan sebaliknya situasi yang dianggap biasa saat ini adalah waktu kumpul keluarga dimana semua anggota keluarga sibuk masing-masing. Walaupun duduk bersama, namun papa chat dengan temannya, mama browsing sendiri dan anak sibuk bermain game atau menonton smart TV tanpa saling komunikasi satu sama lain. Akibatnya anak hanya menerima stimulasi satu arah tanpa dilatih untuk mengkomunikasikan keinginan atau perasaannya.

Keterlambatan bicara disebabkan karena kurangnya stimulasi yang diberikan oleh orang tua, dimana anak lebih sering diberikan gadget tanpa pendampingan agar anak tidak mengganggu orang tua menyelesaikan pekerjaannya. Faktor penyebab lainnya adalah orang tua berpikir tanpa distimulasi pun, anak mampu bicara dengan sendirinya dan keterlambatan yang dialami anak merupakan sesuatu yang dianggap wajar. Hal ini diperburuk dengan kurang kesadaran dari orang tua untuk melatih anak menyebutkan kata dengan artikulasi yang jelas. Ketika anak berbicara bahasa bayi misalnya susu jadi cu-cu, orang tua membiarkan dan dianggap lucu bahkan orang tua ikut-ikutan menggunakan bahasa bayi dan tidak berusaha meralat atau meluruskan mengucapkan kata-kata dengan jelas. Selain itu, ibu yang jarang melakukan komunikasi dua arah dengan anak, bahkan untuk hal-hal kecil seperti anak meminta mainan dengan cara menunjukkan mainan tersebut, maka ibu akan buru-buru memberikannya tanpa meminta anak menyebutkan nama mainan tersebut dengan alasan agar anak tidak menangis.

Berdasarkan social learning theory Bandura bahwa perkembangan bahasa pada anak merupakan hasil belajar dari observasi dan imitasi. Bandura menjelaskan perilaku manusia dipelajari melalui observasi dan modelling. Dimulai dari proses mengamati orang lain kemudian seseorang akan membentuk gagasan tentang bagaimana perilaku baru tersebut dilakukan dan selanjutnya dijadikan panduan atau panutan untuk melakukan perilaku yang sama. Dalam hal ini orang tua akan menjadi role model yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan bahasa baik dari kosakata, ucapan maupun pemahaman anak. Kosakata anak meningkat secara pesat dari 300 kata pada usia 2 tahun hingga lebih dari 2100 kata pada usia 5 tahun. Selain itu struktur kalimat, penggunaan tata bahasa dan kejelasan juga meningkat, bahkan sebagian anak-anak prasekolah bisa belajar dua bahasa atau bilingual secara bersamaan (Kurnia dkk., 2019).

Penelitian lain menyebutkan faktor resiko yang terkait keterlambatan bicara dan bahasa ada 2 faktor yaitu medis, misalnya asfiksia lahir, kejang dan kelainan orofaringeal. Adapun penyebab keluarga dan lingkungan adalah pendidikan orang tua yang rendah, stimulasi yang tidak memadai, riwayat keluarga yang juga mengalami keterlambatan bicara, lingkungan multibahasa.

Pencegahan yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap keterlambatan bicara bisa dilakukan dengan cara sering mengajak anak berbicara (baby talk) dengan menggunakan kata sederhana diikuti dengan ekspresi yang tepat, perbanyak membaca buku bersama anak, selalu melibatkan anak dalam diskusi atau dialog yang dapat menjelaskan mengenai perilaku atau perasaan yang dirasakan oleh anak, membatasi screen time dan menciptakan interaksi sosial yang aktif bersama anak, aktif mengikuti kegiatan publik yang memberikan pendidikan mengenai perkembangan bahasa yang efektif untuk anak (Feldman, 2019). Selain itu kita juga harus memberikan contoh pada anak bagaimana berkomunikasi dengan baik, mengucapkan kata-kata dengan jelas, selalu melibatkan anak untuk berdialog dan membatasi penggunaan gadget serta memperbanyak waktu bermain bersama anak.

 

Referensi

Amalia, RR. N. G., Safitri, J., & Zwagery, R. V. (2019). Penerapan metode discrete trial training (DTT) dalam meningkatkan kemampuan bicara pada anak yang mengalami keterlambatan bicara. Jurnal Kognisia, 2(2), 119–125.

Amalia, W., & Satiti, I. A. D. (2020). Kenali dan cegah keterlambatan bicara (speech delay) pada anak usia dini di Paud Maju Mapan Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Jurnal Akses Pengabdian Indonesia, 5(1), 22–27.

Evandio, A. (2022). Darurat speech delay, 20 persen anak RI alami terlambat bicara. Bisnis.com. https://lifestyle.bisnis.com/read/20220520/106/1535165/darurat-speech-delay-20-persen-anak-ri-alami-terlambat-bicara

Feldman, H. M. (2019). How young children learn language and speech. Pediatrics In Review, 40(8), 398–411. https://doi.org/10.1542/pir.2017-0325

Kurnia, V., Tjondronegoro, P., & Wahyuningrum, E. (2019). Correlation of parenting styles in language development in preschooler. Journal of Nursing Science Update (JNSU), 7(1), 84–92. https://doi.org/10.21776/ub.jik.2019.007.01.8

Maharani, B. A., & Abidin, Z. (2022). Studi eksploratif tentang faktor-faktor penyebab keterlambatan bicara anak usia pra sekolah. PSYCHE: Jurnal Psikologi, 4(1), 55–64. https://doi.org/10.36269/psyche.v4i1.441

Rosary. (2022). Keterlambatan bicara, apa tandanya? RS Pondok Indah Group. https://www.rspondokindah.co.id/id/news/keterlambatan-bicara-apa-tandanya

Sunderajan, T., & Kanhere, S. (2019). Speech and language delay in children: Prevalence and risk factors. Journal of Family Medicine and Primary Care, 8(5), 1642. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc_162_19

Zhang, Z., Xu, Q., & Joshi, R. M. (2021). A meta?analysis on the effectiveness of intervention in children with primary speech and language delays/disorders: Focusing on China and the United States. Clinical Psychology & Psychotherapy, 28(3), 585–605. https://doi.org/10.1002/cpp.2522