Dalam dunia medis, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit yang sering dihadapi oleh banyak orang. PJK terjadi ketika arteri koronaria mengalami penyempitan atau penghambatan, yang mengganggu suplai darah dan oksigen ke otot jantung. Hasilnya, terjadilah iskemia miokard yang dapat menyebabkan serangan jantung dan bahkan kematian. Dalam artikel ini, kita akan membahas penggunaan antikoagulan sebagai salah satu terapi yang digunakan dalam pengobatan PJK. Namun, kita juga akan membahas permasalahan terkait penggunaan antikoagulan dan bagaimana meningkatkan pelayanan kefarmasian untuk pasien PJK.
Mengenal Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah kondisi di mana arteri koronaria mengalami penyempitan atau penghambatan, sehingga mengurangi suplai darah dan oksigen ke otot jantung. Hal ini dapat menyebabkan iskemia miokard, yang dapat mengakibatkan nyeri dada (angina pektoris) atau bahkan serangan jantung. Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia mencapai 1,5% pada tahun 2018, dan merupakan penyebab kematian sebesar 42,3%.
Peran Antikoagulan dalam Pengobatan PJK
Antikoagulan adalah jenis obat yang digunakan untuk mencegah pembentukan atau aktivasi faktor pembekuan darah. Dalam pengobatan PJK, antikoagulan dapat digunakan untuk mengurangi risiko terjadinya iskemia miokard. Namun, penggunaan antikoagulan juga dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien PJK, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang sesuai.
Terdapat beberapa jenis antikoagulan yang dapat digunakan dalam pengobatan PJK, antara lain:
Permasalahan Terkait Penggunaan Antikoagulan pada Pasien PJK
Meskipun antikoagulan dapat menjadi pilihan terapi yang efektif dalam pengobatan PJK, terdapat beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya. Beberapa permasalahan yang sering muncul meliputi:
Studi Penggunaan Antikoagulan pada Pasien PJK
Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian bagi pasien PJK, dilakukanlah studi penggunaan antikoagulan pada pasien PJK di RS Bhayangkara Surabaya. Studi ini menggunakan metode penelitian observasional dengan pengumpulan data secara retrospektif melalui penelusuran rekam medik pasien pada tahun 2019. Jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 35 pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, sebagian besar adalah laki-laki (80%). Laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi terkena PJK dibandingkan perempuan, karena faktor hormon estrogen pada perempuan dapat berperan dalam mencegah terjadinya PJK. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa risiko terkena PJK meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada usia di atas 45 tahun.
Dalam pengobatan PJK, antikoagulan yang paling banyak digunakan adalah fondaparinuks (45%), enoxaparin (37,5%), dan warfarin (17,5%). Fondaparinuks diberikan dengan dosis 1 x 2,5 mg secara subkutan, enoxaparin dengan dosis 2 x 60 mg secara subkutan, dan warfarin dengan dosis 1 x 2-4 mg secara oral. Pemberian antikoagulan ini telah sesuai dengan pedoman terapi yang ada.
Dalam penggunaan antikoagulan pada pasien PJK, tidak ditemukan efek samping perdarahan yang signifikan. Namun, perlu diingat bahwa interaksi obat dapat meningkatkan risiko perdarahan pada penggunaan antikoagulan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi yang cermat terhadap interaksi obat pada pasien PJK.
Peran Farmasis dalam Pelayanan Kefarmasian untuk Pasien PJK
Dalam pengobatan PJK, peran farmasis sangat penting dalam memberikan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Farmasis dapat membantu dalam pemilihan jenis antikoagulan yang tepat, mengatur dosis obat yang sesuai, dan memberikan informasi mengenai efek samping dan interaksi obat kepada pasien PJK. Dengan melibatkan farmasis dalam tim perawatan pasien PJK, diharapkan penggunaan antikoagulan dapat menjadi lebih efektif dan aman.
Kesimpulan
Penggunaan antikoagulan merupakan salah satu terapi yang efektif dalam pengobatan PJK. Namun, perlu diperhatikan beberapa permasalahan terkait penggunaan antikoagulan, seperti pemilihan jenis antikoagulan yang tepat, efek samping, dosis obat, dan interaksi obat. Melalui studi penggunaan antikoagulan pada pasien PJK, dapat ditingkatkan pelayanan kefarmasian untuk pasien PJK dan meningkatkan kualitas pengobatan. Peran farmasis dalam pelayanan kefarmasian sangat penting dalam mencapai tujuan ini. Dengan kerjasama yang baik antara tenaga medis dan farmasis, diharapkan pasien PJK dapat mendapatkan pengobatan yang optimal dan aman.
Referensi:
Yasuda S, Kakita K, Akao M, et al. Antithrombotic therapy for atrial fibrillation with stable coronary disease. N Engl J Med 2019;381:1103–13.
Collet JP, Thiele H, Barbato E, et al. 2020 ESC guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart J 2021;42:1289–367.
Arbelo E, Dagres N. The 2020 ESC atrial fibrillation guidelines for atrial fibrillation catheter ablation, CABANA, and EAST. Europace 2022;24:ii3–7.
Sumber gambar: canva.com