Menunggu Resep Obat, mengapa lama sekali ? Keluhan tersebut sudah tak asing lagi terdengar bukan? Bahkan bisa terjadi, seorang pasien akan marah atau komplain karena menunggu obat yang diresepkan oleh dokter sampai memerlukan waktu yang cukup lama? Tidak hanya disampaikan oleh pasien, namun juga dikeluhkan oleh perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Sebenarnya berapa lama waktu yang ideal untuk menunggu antrean obat di rawat jalan? Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, waktu tunggu obat maksimal 30 menit untuk obat jadi (non-racikan) dan 60 menit untuk obat racikan. Waktu tunggu ini dihitung sejak pasien menyerahkan resep hingga menerima obat dan meninggalkan Instalasi Farmasi. Lalu apa saja faktor yang dapat mempengaruhi waktu tunggu obat berdasarkan Permenkes RI Nomer 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit ?
1. Kurang jelasnya tulisan dokter di resep.
Hal ini sering kali terjadi saat resep yang diberikan ditulis manual. Kadang resep tidak terbaca dan hanya jelas huruf depannya saja, dan bahkan tidak ada tulisan berapa dosis yang harus diberikan kepada pasien. Tentunya ini perlu dikonfirmasi lagi oleh tenaga kefarmasian kepada dokter penulis resep. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi kesalahan pemberian obat kepada pasien. Namun, tidak perlu khawatir karena ketidakjelasan tulisan ini di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan sudah teratasi karena sudah menggunakan resep elektronik. Jadi, tidak akan terjadi kesalahan pembacaan resep dan kesalahan pemberian obat.
2. Menghitung kembali dosis yang diperlukan.
Bukan tanpa alasan, dosis harus dihitung kembali saat resep diterima oleh tenaga farmasi karena kadang sediaan obat yang sesuai dengan resep yang diterima tidak ada. Hal tersebut membuat tenaga farmasi harus menghitung kembali berapa tablet atau berapa miligram yang harus diberikan kepada pasien sesuai dengan resep dokter. Khususnya untuk pasien bayi, anak, lansia, dan pasien kanker. Perhitungan dosis ini dilakukan agar obat tetap memiliki efek dan minim efek samping.
3. Adanya kekosongan obat.
Kekosongan obat dapat terjadi, karena jumlah pasien yang menggunakan obat tersebut banyak. Sehingga petugas farmasi memerlukan waktu untuk melakukan pengambilan obat terlebih dulu ke gudang Farmasi atau depo Farmasi yang lain. Namun apabila stok obat kosong, maka petugas farmasi akan mengonsultasikan dan menyarankan obat kepada dokter untuk mengganti obat yang persediannya sedang kosong dengan obat yang tentunya mempunyai indikasi yang sama sesuai dengan kondisi pasien. Jika dokter menyetujui, maka akan dilakukan pemberian obat kepada pasien.
4. Adanya masalah dalam resep obat.
Tenaga farmasi akan mengonfirmasi kembali kepada dokter yang meresepkan obat apabila dalam resep obat tersebut interaksi atau duplikasi obat. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat adanya interaksi dengan obat lain atau kondisi medis tertentu yang dapat mengurangi efektivitas suatu obat. Sedangkan duplikasi obat merupakan penggunaan dua atau lebih obat yang memiliki zat aktif dimana memiliki indikasi yang sama digunakan pada waktu yang sama dengan rute pemberian yang sama. Dengan demikian, petugas farmasi akan menyarankan obat yang sama fungsinya namun berbeda golongan kepada dokter agar tidak terjadi duplikasi pengobatan pada pasien.
5. Sediaan obat yang perlu di racik.
Ada beberapa kondisi yang membuat pasien harus menerima obat racikan seperti puyer sehingga tidak semua obat bisa diberikan langsung terutama untuk pasien anak dan bayi. Hal ini karena resep obat yang diberikan disesuaikan dengan berat badan pasien anak dan bayi.. Peracikan puyer obat ini dapat memakan waktu yang cukup lama karena dilakukan pembungkusan kembali obat. Jadi, obat yang tadinya berbentuk tablet akan digerus terlebih dulu untuk kemudian dibagi-bagi sama rata, supaya dosisnya sesuai dan sama rata pada setiap bungkusnya.Pembungkusan ini juga bisa cukup lama apabila dilakukan secara manual, dengan cara petugas farmasi melipat kertas pembungkus perkamen dengan tangan tanpa bantuan mesin klip untuk merekatkan kertas obatnya. Selain itu, jumlah obat yang diracik bahkan bisa mencapai 90 bungkus obat yang harus diracik setiap resepnya.
6. Double Checking.
Kekuatan sediaan obat banyak dan bentuk sediaan obat pun bermacam-macam. Mulai dari obat sirop, tablet, kapsul, kaplet, serbuk, infeksi, dan supositoria. Maka, sebelum obat diberikan kepada pasien biasanya akan dicek kembali untuk melihat apakah benar obat yang diberikan sesuai resep dan dilihat juga kekuatan sediaan obat. Banyak obat yang memiliki kemiripan dalam penyebutan atau penulisan, kemiripan dalam bentuk obat dan kemasannya. Obat-obat yang seperti ini sering disebut sebagai obat LASA (Look a like and sound a like).
Kadang bisa terjadi kekeliruan dalam pengambilan obat, sehingga pengecekan kembali ini perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan pemberian obat kepada pasien.
7. Melakukan verifikasi ke pasien.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan pemberian obat kepada pasien. Petugas farmasi akan menanyakan nama lengkap pasien dan tanggal lahir pasien untuk memverifikasi dan memastikan obat diberikan kepada pasien yang benar. Selain itu, biasanya dilakukan penandatanganan sebagai bukti bahwa pasien telah menerima obat.
Inilah beberapa alasan mengapa kita menunggu lama saat mengambil resep obat. Tentunya petugas farmasi akan berusaha semaksimal mungkin agar pasien tidak menunggu terlalu lama dan obat serta dosis yang diberikan tepat. Jadi diharapkan pasien dapat bersabar ya, apalagi resep obat yang diambil berupa obat racikan.
Referensi:
Kepmenkes, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
Permenkes RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Sumber foto : Humas-RSO